Minggu, 20 Mei 2012

2012 - Pesan Paus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-46


Keheningan dan Kata: Jalan Evangelisasi
  Pesan Bapa Suci Benedictus XVI untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-46
20 Mei 2012
Saudara dan Saudariku yang terkasih,
Menjelang hari Komunikasi Sedunia tahun 2012, saya ingin berbagi dengan anda beberapa permenungan tentang salah satu aspek dari proses komunikasi manusia yang meskipun penting, sering diabaikan, dan kini tampaknya sangat perlu untuk diingat. Ini menyangkut hubungan antara keheningan dan kata: dua aspek komunikasi yang perlu dipertahankan agar tetap berimbang, untuk diterapkan  secara bergantian dan diintegrasikan satu sama lain jika ingin mencapai dialog yang otentik dan hubungan kedekatan yang mendalam di antara manusia. Ketika kata dan keheningan terpisah satu dengan yang lain, komunikasi menjadi putus entah karena keterpisahan itu menimbulkan kebingungan atau  karena, sebaliknya, menciptakan suasana dingin. Namun apabila mereka saling melengkapi, komunikasi memperoleh nilai dan makna.
Keheningan adalah unsur utuh dari komunikasi;  tanpa keheningan, kata yang kaya pesan tak akan ada. Dalam keheningan, kita lebih mampu mendengar dan memahami diri kita sendiri, gagasan-gagasan dapat lahir dan mencapai kedalaman makna. Dalam keheningan, kita memahami dengan lebih jelas apa yang ingin kita katakan, apa yang kita harapkan dari orang lain dan bagaimana mengungkapkan diri. Dengan  keheningan, kita membiarkan  orang berbicara  dan mengungkapkan dirinya; dan  kita mencegah diri kita terpatok pada kata-kata dan gagasan kita sendiri tanpa ditelaah secara memadai. Dengan demikian, ruang yang diciptakan untuk saling mendengar dan membangun hubungan manusiawi menjadi lebih mungkin.
Seringkali dalam keheningan, misalnya, kita melihat adanya komunikasi paling otentik antara orang yang sedang jatuh cinta: gerak-gerik, ekspresi wajah dan bahasa tubuh adalah tanda-tanda   mereka mengungkapkan dirinya bagi yang lain. Kegembiraan, kecemasan dan penderitaannya dapat dikomunikasikan semuanya dalam keheningan. Sesungguhnya bagi mereka, keheningan merupakan cara mengungkapkan diri yang sangat kuat. Maka keheningan membuka jalan bagi komunikasi yang lebih aktif,  yang bila disertai kepekaan dan kemampuan untuk mendengar, ia mampu mewujudkan takaran dan kodrat hubungan yang benar oleh mereka yang terlibat dalamnya. Ketika pesan dan informasi melimpah ruah, keheningan menjadi hakiki untuk membedakan mana yang  penting dan mana yang tidak berguna atau sekuder. Permenungan yang lebih mendalam membantu kita menemukan  jalinan antara peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak berkaitan, mengevalusasi, menganalisis pesan dan hal ini memungkinkan kita berbagi pendapat yang bijaksana dan relevan, sehingga melahirkan suatu stuktur  otentik mengenai pengetahuan yang kita miliki bersama. Agar hal ini terjadi, perlu dikembangkan lingkungan yang sesuai, sejenis ‘ekosistem' yang mempertahankan keseimbangan antara keheningan, kata-kata, gambar dan suara.
Proses komunikasi pada saat ini sebagian besar  dipicu oleh  pertanyaan pencarian jawaban. Mesin pencari dalam jejaringan sosial telah menjadi titik awal komunikasi bagi banyak orang yang mencari saran, gagasan, informasi dan jawaban. Di zaman kita, internet lebih menjadi sebuah forum untuk pertanyaan dan jawaban. Memang, manusia zaman kini sering diterpa dengan  jawaban-jawaban untuk pertanyaan yang tidak pernah mereka ajukan dan kebutuhan yang tidak pernah mereka sadari. Bila kita mengenal dan berfokus pada pertanyaaan-pertanyaan yang sungguh-sungguh penting, maka keheningan adalah suatu modal berharga yang memampukan kita untuk  memiliki ketrampilan membedakan secara tepat  berhadapan dengan meningkatnya stimulus dan data  yang kita terima. Bagaimanapun juga, di tengah kerumitan dan keragaman dunia komunikasi, banyak orang dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan utama tentang keberadaan manusia:  siapakah saya? Apa yang dapat saya tahu? Apa yang harus saya lakukan? Apa yang boleh saya harapkan? Hal ini penting untuk memberikan jawaban kepada mereka yang seringkali melontarkan pertanyaan-pertanyaan serupa dan membuka kemungkinan untuk sebuah dialog yang mendalam- melalui sarana kata-kata dan tukar pikiran- tetapi juga  melalui panggilan untuk permenungan yang hening; sesuatu yang seringkali lebih berharga ketimbang jawaban yang tergesa-gesa, sekaligus memberikan kemungkinan kepada para pencari jawaban menjangkau kedalaman diri dan membuka diri bagi jalan menuju pengetahuan yang telah diukir Allah dalam sanubari manusia.
Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan  yang senantiasa dilontarkan ini menunjukkan kegelisahan manusia yang tiada hentinya mencari kebenaran- dari yang terpenting hingga yang kurang penting- yang dapat memberikan makna dan harapan bagi kehidupan mereka. Kaum laki-laki dan perempuan tidak boleh merasa puas dengan tukar pikiran dan pengalaman hidup yang dangkal dan meragukan tanpa mempertanyakannya. Kita semua sedang  mencari kebenaran dan memendam kerinduan yang sama lebih dari masa yang pernah ada: "ketika manusia berbagi informasi, mereka telah berbagi diri mereka, pandangan mereka tentang dunia, harapan dan gagasan mereka" (Pesan Hari Komunikasi Sedunia tahun 2011).
Kita perlu menaruh perhatian terhadap berbagai jenis website (laman), aplikasi dan jejaring sosial yang dapat membantu manusia zaman ini menemukan waktu untuk permenungan dan pertanyaan sejati sekaligus  menciptakan ruang untuk keheningan  dan kesempatan untuk berdoa, meditasi, atau syering Sabda Allah. Melalui kalimat-kalimat yang singkat namun padat, seringkali tidak lebih panjang dari sebuah ayat dalam Kitab Suci, sebuah pemikiran yang mendalam dapat dikomunikasikan, asalkan mereka yang terlibat dalam percakapan itu tidak mengabaikan perlunya pertumbuhan hidup batin mereka sendiri. Tidak mengherankan bahwa  berbagai tradisi agama yang berbeda  menganggap kesendirian dan keheningan sebagai suatu keadaan  yang membantu manusia menemukan kembali diri mereka dan kebenaran yang memberikan makna bagi segala hal. Allah dalam wahyu Kitab Suci berbicara juga tanpa kata-kata: ‘seperti yang terungkap oleh Salib Kristus, Allah juga berbicara melalui keheningan. Keheningan Allah, pengalaman berjarak dari Allah yang mahakuasa adalah tahapan yang menentukan dalam perjalanan duniawi Putra Allah, Sabda yang menjelma . . . .keheningan Allah memperkaya kata-kata-Nya yang disampaikan sebelumnya. Dalam masa-masa kegelapan seperti inilah, Dia berbicara melalui rahasia keheningan-Nya" (Verbum Domini,21). Dalam keheningan Salib, kasih Allah dihidupi sedemikian sehingga menjadi sebuah pemberian yang paling utama. Setelah kematian Kristus, ada keheningan besar di atas bumi dan pada hari Sabtu Suci, ketika sang Raja meninggal ... Allah wafat dalam daging  dan membangkitkan mereka yang telah wafat sejak berabad-abad yang lalu" (bacaan pada Hari Sabtu Suci); suara Allah bergema kembali, dipenuhi kasih bagi umat manusia.
Jika Allah berbicara kepada kita, bahkan dalam keheningan, kita pada gilirannya menemukan dalam keheningan kemungkinan berbicara dengan Allah dan tentang Allah. "kita membutuhkan keheningan untuk kontemplasi yang mengantar kita kepada titik dimana  sang Sabda, yaitu Sabda penebusan, lahir. (Homili, Perayaan Ekaristi bersamapara anggota Komisi Teologi Internasional, 6 Oktober 2006). Apabila kita berbicara tentang kebesaran Allah, bahasa yang kita pergunakan tidak selalu memadai, dan dengan demikian, kita perlu membuka ruang untuk kontemplasi dalam keheningan. Dari kontemplasi itu, lahirlah dengan segala kekuatan batin, kerinduan yang mendesak akan perutusan, suatu kebutuhan  ‘mengkomunikasikan apa yang telah kita lihat dan dengar" sehingga semua orang memperoleh persekutuan dengan Allah. (1 Yoh 1:3). Kontemplasi  hening menyelimuti kita di dalam sumber cinta kasih yang  menuntun kita bertemu dengan sesama sehingga kita dapat merasakan penderitaan mereka dan  menyampaikan kepada mereka terang Kristus, amanat kehidupan dan karunia penyelamatan-Nya yang penuh kasih.
Maka, dalam kontemplasi yang hening,  sang Sabda kekal, yang oleh-Nya dunia diciptakan, sungguh-sungguh hadir dan kita  menjadi sadar akan rencana penyelamatan Allah yang terpenuhi melalui sejarah kita oleh perkataan dan perbuatan. Seperti yang ditandaskan oleh Konsili Vatikan II kepada kita, wahyu Ilahi digenapi oleh ‘perbuatan dan perkataan' yang  mengandung kesatuan di dalamnya: sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan Allah dalam sejarah keselamatan, mewujud  dan menggenapi pengajaran dan kenyataan yang ditandai dengan  perkataan; sementara kata-kata itu  pada gilirannya menyatakan perbuatan dan mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di dalamnya" (Dei Verbum, 2). Rencana penyelamatan ini mencapai puncaknya dalam diri Yesus dari Nazareth, pengantara dan pemenuhan semua wahyu.  Ia memperkenalkan diri kepada kita  wajah yang benar dari Allah Bapa dan oleh salib-Nya dan kebangkitan-Nya Ia  membebaskan kita dari perbudakan dosa dan kematian kepada pembebasan anak-anak Allah. Pertanyaan medasar tentang makna keberadaan manusia  menemukan jawabannya dalam misteri Kristus yang mampu membawa damai bagi hati manusia yang gelisah. Pertusan Gereja berasal dari misteri ini dan itulah misteri yang mendorong orang-orang Kristiani menjadi pembawa harapan dan keselamatan, saksi-saksi akan kasih Allah yang  menjunjung martabat manusia serta membangun keadilan dan damai.
Kata dan keheningan: belajar berkomunikasi adalah belajar untuk mendengar dan merenung sebagaimana berbicara. Hal ini terutama penting bagi mereka yang  terlibat dalam karya evangelisasi: baik keheningan maupun kata adalah unsur hakiki, bagian utuh karya komunikasi Gereja demi pembaruan karya pewartaan Kristus zaman ini.  Kepada  Bunda Maria,  yang dalam keheningannya "mendengarkan Sabda dan menjadikannya mekar" (Doa pribadi di Loreto, 1 September 2007),  saya mempercayakan semua karya evangelisasi yang Gereja laksanakan melalui sarana komunikasi sosial.
Vatikan, 24 Januari 2012, Pesta Santo Fransiskus dari Sales
Paus Benediktus XVI

Selasa, 01 Mei 2012

Pesan Bapa Suci untuk Hari Doa Panggilan Sedunia ke-49


Saudara-saudari yang terkasih.

Hari Doa Panggilan Sedunia Ke-49 yang akan dirayakan pada tanggal 29 April 2012, Hari Minggu Paskah IV, mendorong kita untuk merenungkan tema: PANGGILAN SEBAGAI ANUGERAH KASIH ALLAH.
Sumber segala karunia yang sempurna adalah Allah. Dia-lah Kasih itu sendiri – Deus Caritas est : “…..barangsiapa tinggal di dalam kasih, tinggal di dalam Allah dan Allah tinggal  di dalam dia” (1Yoh.4:16). Kitab Suci menceritakan kisah ikatan awali antara Allah dengan manusia yang mendahului penciptaan itu sendiri. Santo Paulus, ketika menulis surat kepada jemaat Kristiani di Efesus, mengangkat kidung pujian dan syukur kepada Bapa, dimana berkat kebajikan-Nya yang tak terhingga, telah selama berabad-abad menyelesaikan rencana keselamatan universal tersebut, yaitu suatu rencana kasih. Santo Paulus mengatakan  bahwa Allah dalam diri Putera-Nya, “telah memilih kita sejak sebelum penciptaan dunia, untuk menjadi kudus dan tak bercela di hadapan-Nya di dalam kasih” (Ef.1:4). Allah mengasihi kita “jauh sebelum” kita ada. Hanya terdorong oleh kasih-Nya tanpa syarat, Allah telah menciptakan kita “bukan dari barang yang sudah ada” (bdk. 2Mak.7:28), untuk menuntun kita ke dalam persekutuan dengan diri-Nya.
Dalam kekaguman yang amat besar akan penyelenggaraan ilahi itu, seorang pemazmur berseru: “Jika aku melihat langit-Mu, karya jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau-tempatkan, apakah manusia itu sehingga Engkau mengingatnya? Siapakah anak manusia itu sehingga Engkaumengindahkannya?” (Mzm.8:4-5). Kebenaran yang paling mendasar dari keberadaan kita termaktub dalam misteri yang menakjubkan ini: setiap mahluk, khususnya  setiap pribadi manusia, adalah buah pikiran dan tindakan kasih Allah, suatu kasih tanpa batas, setia dan tak berkesudahan (bdk. Yer.31:3). Penemuan akan realitas kasih semacam ini sungguh-sungguh akan mengubah kehidupan kita secara mendalam. Dalam sebuah halaman yang terkenal dari buku “Pengakuan-pengakuan”-nya, Santo Agustinus mengungkapkan dengan perjuangan keras penemuannya akan Allah sebagai kasih dan keindahan yang amat menakjubkan. Dia adalah Allah yang selalu dekat dengan-nya, kepada-Nya Santo Agustinus akhirnya membuka pikiran dan hatinya untuk diubah: “Terlambat sudah aku mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, terlambat sudah aku mencintai-Mu! Ya, karena ketika Engkau berada di dalam diriku, aku sendiri malah berada di luar sana, dan dluar sanalah aku mencari Engkau. Dalam ketidaksempurnaanku, kulemparkan diriku ke dalam benda-benda ciptaan-Mu yang indahDahulu Engkau bersama aku, namun aku sendiri malah tidak bersama Engkau. Benda-benda ciptaan-Mu telah membuatku terpisah dari pada-Mu; namun jika benda-benda ciptaan itu tidak ada di dalam diri-Mu, sesungguhnya mereka sama sekali tidak ada. Engkau memanggil, Engkau berseru-seru, Engkau menghancurkan ketulianku. Engkau memancarkan sinar-Mu dan Engkau mengusir kebutaankuEngkau menebarkan keharuman-Mu, maka aku menghirupnya dan sekarang aku sangat merindukan-Mu. Aku telah menikmati Engkau, maka sekarang aku semakin lapar dan haus akan Engkau. Engkau menyentuhku dan aku terbakar oleh kerinduan akan damai-Mu” (X. 27.38). Dengan gambaran ini, Santo dari kota Hippo berusaha melukiskan misteri yang tak terperikan dari sebuah perjumpaan antara dirinya dengan Allah, dengan kasih-Nya yang mengubah seluruh hidupnya.

Itulah kasih tanpa batas, kasih yang mendahului kasih kita, kasih yang menopang dan memanggil kita sepanjang jalan hidup kita, kasih yang berakar dari anugerah bebas Allah. Khusus bicara tentang pelayanan imamat, pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II menegaskan bahwa setiap tindakan pelayanan, yang menghantar pada cinta dan pelayanan Gereja, harus mendorong untuk semakin menumbuhkan kasih dan pelayanan kepada Yesus Kristus sebagai Kepala, Gembala dan Mempelai Gereja, suatu kasih yang selalu menjadi suatu jawaban atas Kasih Allah yang bebas dan cuma-cuma dalam diri Yesus Kristus (Pastores Dabo Vobis, no.25). Itulah sebabnya, setiap ‘panggilan khusus’ lahir dari prakarsa/inisiatif Allah: inilah anugerah Kasih Allah! Allah-lah yang mengambil langkah pertama”, bukan karena Dia telah menemukan sesuatu yang baik dari diri kita, melainkan melulu karena kasih-Nya sendiri “yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Rm.5:5).

Di setiap zaman, sumber panggilan ilahi dapat ditemukan pada prakarsa kasih Allah yang tak terbatas, yang mewahyukan diri-Nya secara penuh dalam diri Yesus Kristus. Sebagaimana sudah saya tulis dalam ensiklik Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih), “Allah sungguh dapat dilihat dalam sejumlah cara pewahyuan. Dalam kisah cinta yang ditulis dalam InjilAllah datang kepada kita, Ia berusaha memenangkan hati kita sepenuhnya kepada Perjamuan Terakhir, kepada hati-Nya yang tertikam di atas kayu Salib, kepada penampakan-penampakan setelah kebangkitan-Nya dan kepada perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para Rasul, dan Ia membimbing Gereja yang baru lahir di sepanjang jalannyaTuhan tidak pernah absen dalam sejarah Gereja selanjutnya: Ia menjumpai kita secara baru dalam diri pria maupun wanita yang merenungkan kehadiran-Nya, dalam Sabda-Nya, dalam sakramen-sakramen, khususnya dalam Ekaristi” (no.17).

Kasih Allah adalah kekal-tak-berkesudahan. Allah adalah setia terhadap diri-Nya, terhadap “firman yang disampaikan kepada seribu angkatan” (Mzm.105:8). Namun demikian keindahan kasih Ilahi yang mendahului dan menyertai kita, harus diwartakan secara baru, khususnya kepada generasi-generasi yang lebih muda. Kasih Ilahi ini merupakan energi hidup yang tersembunyi, suatu motivasi yang tak pernah pudar, bahkan dalam situasi lingkungan sekitar yang sangat sulit sekalipun.

Saudara-saudari terkasih, hendaknya kita membuka hidup kita terhadap kasih Ilahi itu. Inilah kasih dimana Yesus Kristus memanggil kita setiap hari menuju kesempurnaan kasih Bapa (bdk. Mat.5:48). Tolok ukur hidup Kristiani yang tinggi adalah mengasihi “sebagaimana” Allah mengasihi; dengan kasih yang diwujud-nyatakan secara total, suatu pemberian diri yang setia dan menghasilkan buah. St. Yohanes dari Salib, yang sangat menderita karena hukuman seputar pencopotannya dari jabatan, menjawab dengan menulis (surat) kepada Priorin Biara Segovia, mengajak dia agar bertindak seturut kehendak-Nya: “Jangan berpikir pada sesuatu apapun selain Allah yang mengatur segala sesuatu. Dimana tidak ada kasih, taburkanlah kasih, dan di sanalah engkau akan menuai kasih» (Surat, 26).

Di sinilah, yaitu di ‘lahan’ pemberian dan keterbukaan diri terhadap kasih Allah, dan sebagai buah dari kasih Allah itu, lahirlah dan bertumbuhlah aneka-ragam panggilan. Dengan menimba dari sumber ini melalui doa, melalui bantuan Firman Allah dan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi, memungkinkan kita untuk menghayati kasih kepada sesama, dimana kita mampu mengenal wajah Kristus Tuhan (bdk. Mt.25:31-46). Untuk melukiskan hubungan yang tak terpisahkan antara “dua kasih” ini, – kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama –, dimana keduanya mengalir dari sumber yang sama dan kembali kepada sumber yang sama yaitu sumber Ilahi, maka Paus Santo Gregorius Agung menggunakan kiasan atau perumpamaan tentang penyemaian benih: Di dalam hati kita sebagai sebidang tanah garapan, Allah menanam terlebih dahulu benih kasih bagi kita dan dari benih ini munculah tunas-tunas kasih satu kepada yang lain” (Moralium Libri, sive expositio in Librum B. Job, Lib. VII, cap. 24, 28; PL 75, 780D).

Kedua ungkapan dari satu kasih Ilahi yang tunggal ini haruslah dihayati dengan intensitas khusus dan dengan kemurnian hati oleh mereka yang telah mengambil keputusan untuk menapaki jalan pemurnian panggilan imamat dan hidup bakti; keduanya merupakan unsur yang sangat penting. Kasih kepada Allah – dimana para imam dan kaum religius dipanggil untuk memantulkannya, betapapun tidak sempurna – adalah motivasi untuk menjawab panggilan Allah demi pengudusan hidup secara khusus melalui tahbisan imamat atau pengikraran  nasihat-nasihat Injili. Jawaban Petrus yang berapi-api kepada Sang Guru: ”Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (Yoh.21:15), merupakan rahasia pemberian diri secara total dan dihayati sepenuhnya, maka dia amat bahagia dengan cara hidup demikian.

Pengejawantahan praktis-aktual lain dari kasih terhadap sesama, khususnya terhadap mereka yang menderita dan berkekurangan, adalah dorongan yang sangat menentukan, yang menjadikan para imam dan para religius sebagai sosok pembangun persekutuan antara umat  dan sang penabur harapan. Relasi antara kaum religius, khususnya antara para imam, dengan komunitas kristiani adalah penting dan menjadi salah satu aspek fundamental dari kasih-sayang mereka. Pastor Yohanes Maria Vianney dari Ars senang dengan ungkapan: “Imam-imam bukanlah imam-imam bagi dirinya sendiri, melainkan bagi kalian semua – jemaat kristiani” (Le curé d’Ars. Sa pensée – Son cœur, Foi Vivante, 1966, p. 100).

Saudara-saudaraku yang terkasih para uskup, para imam, para diakon, kaum religius (biarawan-biarawati), para katekis, para petugas pastoral dan kalian semua yang membaktikan diri dalam bidang pembinaan kaum muda: saya sangat menghimbau anda untuk memberi perhatian terhadap anggota-anggota jemaat paroki, kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan gerejani yang merasakan sebuah panggilan imamat dan hidup yang dibaktikan secara khusus. Amat pentinglah bagi Gereja untuk menciptakan suasana yang memungkinkan banyak kaum muda mengatakan “ya” sebagai jawaban yang jujur  terhadap panggilan kasih Allah.

Tugas untuk mendorong panggilan adalah menyediakan bimbingan dan panduan yang dapat membantu mereka. Yang utama dari tugas ini adalah cinta akan Firman Allah yang dihidupi dengan cara menumbuhkan sikap akrab dengan Kitab Suci, dengan doa yang terus-menerus dan penuh perhatian, baik secara pribadi maupun dalam kelompok; semua ini akan memungkinkan untuk mendengarkan panggilan Tuhan di antara aneka suara panggilan hidup sehari-hari. Yang lebih penting di antara semua itu adalah sakramen Ekaristi yang harus menjadi pusat dari setiap perjalanan panggilan:  di sinilah kasih Allah menyentuh kita dalam kurban Yesus Kristus, yang menjadi ungkapan sempurna cinta kasih; dan di sinilah kita selalu belajar terus menerus bagaimana menghayati “takaran kesempurnaan” akan kasih Allah. Firman Allah, doa dan Ekaristi merupakan harta karun yang berharga untuk memampukan kita memahami keindahan yang memesona dari sebuah kehidupan yang seutuhnya dibaktikan demi pelayanan  Kerajaan Allah.

Saya berharap bahwa Gereja-Gereja setempat (keuskupan), dan berbagai kelompok di dalamnya, menjadi tempat untuk pemurnian otentisitas aneka panggilan dan menjadi tempat bagi kaum muda untuk memperoleh pendampingan rohani yang serius dan bijaksana. Dengan cara ini, suatu komunitas kristiani dengan sendirinya merupakan manifestasi atau ungkapan  Kasih Allah dari setiap panggilan. Sebagai jawaban atas tuntutan perintah Yesus yang baru,  dapat menemukan pengungkapannya yang unik dan mengesankan di dalam keluarga-keluarga kristiani, dimana kasih keluarga merupakan ungkapan kasih Kristus yang telah memberikan diri-Nya bagi Gereja-Nya (Ef.5:32). Di dalam keluarga, yang merupakan “sebuah komunitas kehidupan dan kasih” (Gaudium et Spes, 48), kaum muda dapat menimba pengalaman yang luar biasa tentang apa artinya kasih yang memberikan diri. Dengan demikian, keluarga-keluarga tidak hanya menjadi tempat istimewa untuk membentuk jati diri manusiawi dan kristiani, tetapi juga menjadi “lahan penyemaian benih-benih panggilan yang utama dan terbaik bagi hidup yang dibaktikan demi Kerajaan Allah” (Familiaris Consortio, 53), dengan membantu anggota-anggotanya melihat secara tepat di dalam keluarga itu sendiri, keindahan dan pentingnya imamat dan hidup bakti. Para imam dan seluruh kaum beriman awam hendaknya selalu bekerja sama, agar di dalam Gereja semakin berlipat-ganda “rumah-rumah dan sekolah-sekolah persekutuan” yang menjadi cerminan harmonis persekutuan Tritunggal Mahakudus di dunia ini, seturut teladan Keluarga Kudus Nazaret.

Dengan doa penuh harapan, dengan tulus saya memberkati kalian semua dengan Berkat Apostolikku, saudara-saudaraku para uskup, para imam, para diakon, para biarawan-biarawati dan seluruh umat beriman, khususnya kaum muda, yang dengan patuh berusaha mendengarkan suara Allah dan siap menanggapinya dengan tulus dan setia.

Dari Vatikan, 18 Oktober 2011