Rabu, 09 Maret 2011

Sampul Koinonia Vol. 6 no. 2


Menghayati Kemuridan dalam Kristus di Tengah Situasi Anomik Masyarakat Kita


Ketika edisi KOINONIA ini tiba di tangan Anda, Masa Prapaskah tengah berlangsung. Tema APP Nasional 2011 ini berbunyi, “Memberdayakan Kesejatian Hidup dalam Mewujudkan Diri”. Manusia adalah makhluk yang ‘sedang menjadi’. Dan proses ‘menjadi semakin manusia’ ini baru terhenti saat manusia menghembuskan nafas terakhir. Jadi tugas memberdayakan kesejatian hidup ini merupakan tugas seumur hidup setiap manusia. Maka diharapkan agar upaya permenungan dan pembelajaran tema tersebut, baik secara perorangan maupun bersama, tidak berhenti dengan selesainya Masa Prapaskah. Upaya ini harus berlanjut terus. Ketika masyarakat kita sedang dilanda anomie, maka permenungan dan pembelajaran sekitar tema tersebut semakin menjadi urgent. Oleh karena itu, sebagai sebuah alat bantu bagi upaya berkelanjutan itu, Rubrik ‘Dari Meja Uskup Agung’ kali ini kembali memuat naskah Surat Puasa 2011 Uskup Agung KAMS. Semoga ada manfaatnya.

Situasi Anomik Masyakarat Kita

Istilah anomie berasal dari bahasa Yunani (a = tanpa, nomos = hukum, aturan, norma). Gagasan anomie awalnya dikembangkan oleh sosiolog Perancis Emile Durkheim (1858-1917) untuk menunjuk pada suatu keadaan yang relatif tanpa norma dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Secara sosiologis, anomie menunjuk pada tegangan ke arah tak adanya norma, yang muncul ketika terjadi keretakan atau tiadanya integrasi antara cita-cita budaya dan kemampuan orang-orang untuk bertindak sesuai dengan cita-cita tersebut. Dan menurut Durkheim, ini merupakan tipe dasar masyarakat modern. Anomie merupakan suatu gagasan bermanfaat untuk memahami tingkah laku menyimpang. Kesemrawutan sosial, kekacauan moral, dan desintegrasi sistem-sistem nilai merupakan ciri-ciri sebuah masyarakat anomik.


Masyarakat bangsa kita dewasa ini menampakkan ciri-ciri semacam itu. Hampir setiap hari kita disuguhi berita yang mengungkapkan carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta ini, baik lewat media cetak maupun elektronik. “Ketika skandal penalangan Rp 6,7 triliun atas Bank Century tak kunjung terungkap dan kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan gagal menyeret para aktor besar di belakangnya, publik kembali terhenyak oleh perseteruan DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi III DPR menolak kehadiran dua unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dalam rapat dengar pendapat di gedung parlemen. Pemicunya tak lain adalah ditangkapnya 22 anggota dan mantan anggota DPR tersangka penerima suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom. Komisi Hukum DPR ‘membalas’ tindakan KPK dengan menolak kehadiran Bibit dan Chandra yang dianggap masih berstatus tersangka kendati kasusnya sendiri telah dikesampingkan (deponeering) oleh Kejaksaan Agung”, demikian ditulis Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI (Kompas, 5 Febr. 2011).


“Skandal Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan, dan kasus suap yang diduga diterima para politisi DPR”, demikian tulis S. Haris selanjutnya, “sebenarnya hanya puncak gunung es kebobrokan sistemis proses politik yang mendera bangsa kita selama ini. Kebobrokan itu pada dasarnya berpusat pada kecenderungan para elite politik dan penyelenggara negara untuk saling menyelamatkan kepentingan politik busuk mereka masing-masing”.


Politik busuk koruptif yang tampaknya melumuri semua lembaga dan perangkat negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), tidak hanya berlangsung di pusat, melainkan menjalar sampai ke daerah. Pada bulan Januari lalu Mendagri Gamawan Fauzi di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengemukakan, sebanyak 155 kepala daerah, termasuk di antaranya 17 gubernur (dari 33 propinsi) tersangkut masalah hukum. Harian Kompas, 24 Januari 2011 menurunkan berita disertai data berjudul “Aceh sampai Papua Tersandera Korupsi”. “Republik Tersandera Korupsi”, demikian Eko Prasojo memberi judul artikelnya (Kompas, 24-1-2011). Dan W. Riawan Tjandra menulis tentang “Korupsi di Rezim Otonomi” (Kompas, 25-1-2011). Sedangkan Yuna Farhan menganalisis maraknya korupsi di daerah dalam tulisannya, “Pemilihan Kepala (Koruptor) Daerah” (Kompas, 25-1-2011). Sedemikian itu, Kompas, 25-1-2011, menurunkan Tajuk Rencana berjudul “Terperangkap Korupsi!”, disertai pernyataan pendahuluan berbunyi: “Keterlaluan! Mungkin itulah respons spontan saat membaca berita harian ini. Republik telah terperangkap korupsi yang terjadi dari Aceh sampai Papua!”


Selain itu, gejala intoleransi dan kekerasan, khususnya yang berdasar agama, masih tetap mengancam hidup keseharian masyarakat kita. Sebagaimana dikemukakan dalam Pesan Natal Bersama PGI-KWI 2010, “akhir-akhir ini gejala-gejala kekerasan atas nama agama semakin tampak dan mengancam kerukunan hidup beragama dalam masyarakat. Hal ini mencemaskan pihak-pihak yang mengalami perlakuan yang tidak wajar dalam masyarakat kita. Kita semakin merasa risau akan perkembangan ‘peradaban’ yang mengarus-utamakan jumlah penganut agama; ‘peradaban’ yang memenangkan mereka yang bersuara keras berhadapan dengan mereka yang tidak memiliki kesempatan bersuara; ‘peradaban’ yang memenangkan mereka yang hidup mapan atas mereka yang terpinggirkan. Peradaban yang sedemikian itu pada gilirannya akan menimbulkan perselisihan, kebencian dan balas dendam: suatu peradaban yang membuahkan budaya kematian daripada budaya cinta yang menghidupkan”.


Dalam arus budaya kematian ini nilai hidup manusia menjadi sangat rendah. Beberapa waktu lalu sering diberitakan di media massa, di negeri kita ini terjadi tidak kurang dari 2,5 juta aborsi setiap tahun. Janin dan bayi-bayi tak berdosa yang harus dilindungi justru dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri. Bahwa akhir-akhir ini berita seperti itu sudah jarang muncul di media, itu belum tentu berarti bahwa pengguguran ilegal tak terjadi lagi di negeri ini. Sementara itu tindakan bunuh diri akibat tekanan kemiskinan sudah muncul pula dalam berita.


Kekacauan sosial yang terungkap antara lain begitu mudahnya amuk massa meledak, praktek korupsi yang begitu luas menjalar, permainan ‘sirkus politik’ (meminjam istilah Indra Tranggono, Kompas, 7-2-2011) yang dilandasi kepentingan pribadi dan kelompok di kalangan para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), kesemua itu menjadi indikator betapa anomie telah melanda kehidupan masyarakat kita. Yang lebih memprihatinkan lagi gejala ini tampaknya telah merasuk pula ke lembaga-lembaga pendidikan. Beberapa waktu lalu seorang mantan pimpinan sebuah IPDN mengungkapkan di TV, bahwa penggunaan narkotik lazim di kalangan para mahasiswa IPDN. Kalau para mahasiswa itu terancam dikeluarkan, mereka dapat membayar dengan uang sehingga tidak jadi dikeluarkan. Dan mereka itu adalah calon-calon pejabat publik di negeri ini di masa depan! Isu praktek tidak jujur sekitar Ujian Nasional sudah lama santer terdengar. Bukan saja para siswa, melainkan konon guru-guru ikut bermain untuk meluluskan semua peserta ujian dari sekolahnya, demi mengangkat nama sekolah. Sesungguhnya sudah sejak dari SD anak-anak berlatih tidak jujur lewat kebiasaan menyontek waktu ujian. Dan kalau kebiasaan ini berlangsung terus selama masa pendidikan, maka lama-kelamaan tidak dirasakan lagi sebagai sesuatu yang tidak baik, dan karenanya boleh saja dibuat. Maka tak perlu heran bahwa di jenjang pendidikan tinggi pun muncul isyu ijazah ‘aspal’ (asli tapi palsu). Malahan untuk meraih gelar doktor pun terdengar praktek plagiat. Kalau beginilah sosok output lembaga-lembaga pendidikan kita, yang adalah calon-calon pemimpin masyarakat di masa depan, bagaimana akan jadinya bangsa ini?


Membenahi Suara Hati

Pertanyaan besar, upaya apa yang harus dibuat guna mengatasi situasi anomik masyarakat kita sebagaimana terurai di atas? Rezim pemerintahan di era Reformasi mencanangkan tekad menjalankan good governance (kepemerintahan yang baik). Diupayakanlah reformasi di berbagai bidang. Barangkali yang paling menonjol menyangkut korupsi dan penegakan hukum. Untuk memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang anti korupsi, dibentuk sebuah superbody bernama ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ (KPK), di samping lembaga penegak hukum lainnya (kepolisian, kejaksaan, kehakiman). Tetapi anehnya, semakin genderang perang melawan korupsi ditabuh, perilaku korup itu malah makin marak. Korupsi menggerogoti birokrasi hingga ke daerah-daerah, juga lembaga negara lainnya. Di bidang penegakan hukum pun sama halnya. Semakin lantang pemerintah mencanangkan penegakan hukum, praktek mafia hukum semakin merajalela. Kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kerap main hakim sendiri atas kelompok lainnya, sehingga terbayang seakan di negara ini kita sedang hidup dalam hukum rimba. Semua itu menegaskan bahwa, untuk mengatasi masalah rumit masyarakat kita, tidaklah cukup hanya melalui reformasi struktural dengan segala sistemnya.


Suara kenabian yang diserukan sekelompok tokoh lintas agama di awal 2011 lalu, dengan menyebut daftar 18 kebohongan rezim pemerintah, sesungguhnya menyentuh akar masalah yang selama ini kurang tersentuh. Dengan memilih istilah ‘kebohongan’ mereka berbicara pada tataran moral, dan bukan pada tataran sosio-struktural belaka. Moral atau etika menyangkut perilaku yang baik, yang bersumber pada sikap hati yang baik. Dalam Injil, ketika Yesus terlibat dalam kontroversi tajam dengan kaum Farisi dan ahli Taurat sekitar tema kenajisan, Yesus bicara keras dengan mengutip nabi Yesaya: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis, ‘Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia’. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia” (Mrk. 7:6-8). Selanjutnya, Yesus menegaskan: “Apa yang ke luar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7:20-22). Memang dari disposisi hati yang buruk akan mengalir perilaku yang buruk pula. Betapapun bagusnya sistem yang dibuat, berapapun lembaga pemberantasan korupsi, yang dibentuk, tetapi kalau disposisi hati para petugasnya memang sudah korup, maka hasilnya juga akan sia-sia. Bahkan lebih buruk lagi, antara lembaga-lembaga negara terjadi praktek saling menyandera dalam kelicikan mempermainkan hukum. Sebaliknya dari nurani yang jernih dan baik akan lahir perilaku yang baik pula. Sedemikian itu, maka kiranya yang teramat penting dilaksanakan ialah pembenahan suara hati bangsa ini, dan itu berarti pembenahan nurani setiap warga negara, baik para pejabat publik (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun warga negara biasa. Pantaslah kita belajar dari sebuah gerakan moral di Filipina, yang mencanangkan slogan “From the Rule of Law to the Rule of Virtue” (“Dari Kaidah Hukum ke Kaidah Kebaijkan”). Dahulu kala, kata mereka, nenek moyang kita tidak memiliki Fakultas-Fakultas Hukum yang menelorkan para ahli hukum. Tetapi mereka dapat hidup teratur dan harmonis dalam masyarakatnya. Mengapa? Karena dalam hidup bersama di tengah masyarakat mereka menghayati keutamaan-keutamaan luhur yang mereka miliki. Sekarang ini kita memiliki sekian banyak ahli hukum yang ditelorkan Fakultas-Fakultas Hukum, tetapi masyarakat kita makin kacau-balau tak beraturan!


Di atas kita berbicara tentang situasi anomik masyarakat kita, yang ditandai kekacauan sosial dan moral, serta disintegrasi sistem nilai. Prinsip moral mengatakan, seseorang harus mengikuti suara hatinya yang jernih. Tetapi dalam situasi anomik suara hati seseorang dapat berada dalam disposisi kacau, dan bahkan bisa menjadi tumpul dan buta. Kalau sejak dari kecil sampai tamat dari Perguruan Tinggi, seseorang sudah terbiasa bertindak tidak jujur (misalnya kebiasaan menyontek untuk dapat nilai yang bagus atau kebiasaan berbohong), maka lama-kelamaan suara hatinya tidak mampu lagi melihat bahwa perbuatan itu bertentangan dengan nilai moral; ia menganggap hal itu biasa saja. Dalam situasi anomik suara hati juga tidak mampu melihat dengan jelas tata nilai moral. Dalam masyarakat yang diwarnai kecenderungan materialistis-konsumeristis, nilai ekonomis (materi) dapat menempati urutan pertama, dan menggeser nilai moral ke urutan ke sekian di bawahnya. Barangkali dengan latar belakang ini kita dapat memahami momok korupsi yang kian marak saja. Oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan nilai sejak dini, dalam keluarga dan di sekolah! Sungguh sangat perlu mengembalikan pendidikan budi pekerti ke lembaga-lembaga pendidikan di negara ini.


Manakah nilai-nilai yang perlu dipelihara dan diberdayakan sejak awal pada subyek didik melalui pendidikan budi pekerti? Abraham Maslow, pelopor psikologi humanistik yang dinamakan ‘Mazhab Ketiga’ di lingkungan psikologi, menemukan nilai-nilai yang melekat dalam kodrat manusia, yang merupakan bagian kodrat biologis dan naluriah, bukan hasil belajar. Maslow meyakini nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum pada seluruh umat manusia, yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Ia sangat merasakan perlunya suatu sistem nilai yang dapat dijadikan pegangan, yang tidak bersumber pada kepercayaan buta semata-mata. Ia menyebut tiga nilai paling hakiki manusiawi, yaitu kebenaran (verum), kebaikan (bonum), dan keindahan (pulchrum); lalu mengikut sejumlah nilai tambahan seperti kegembiraan, keadilan, kebahagiaan, dst. Maslow mengritik keras para psikolog yang mengumandangkan paham relativisme moral dan kultural, yang menurut dia tidak berusaha memecahkan masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat kita. Tanpa patokan-patokan etis, masyarakat tidak akan mampu menolak orang-orang seperti Eichmann dan Hitler, bom-bom atom dan sejenisnya. “Keadaan tanpa sistem nilai-nilai adalah psikopatogenik. Manusia butuh suatu filsafat hidup, agama atau suatu sistem nilai, sama seperti ia butuh sinar matahari, kalsium dan cinta kasih”, kata Maslow.


Sebenarnya para Waligereja Indonesia sudah lama menaruh keprihatinan dan mengeluarkan anjuran-anjuran sekitar masalah moral bangsa. Surat Gembala Prapaskah KWI 1997 berbicara mengenai kerusakan moral hampir di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Empat tahun kemudian, dalam Surat Gembala Paskah KWI 2001 masalah itu direnungkan kembali lewat sebuah pertanyaan, “... betulkah sekarang ini hanya ada kemerosotan moral saja atau sudah matikah moral dan etika yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” Kemudian dalam Nota Pastoral KWI 2003 masalah serius tersebut dipandang sebagai hancurnya keadaban. Puncak permenungan sekitar masalah muskil ini tertuang dalam Nota Pastoral KWI 2004 berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa; Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya”. Ini dilanjutkan dengan Nota Pastoral KWI 2006 berjudul “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan; Keadilan bagi semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi”. Pertanyaannya, apakah dokumen-dokumen penting tersebut telah dijadikan pembelajaran secara serius, baik pribadi maupun bersama, oleh segenap lapisan umat Katolik Indonesia?


Membiarkan Diri Diubah oleh Kristus

Demikianlah, kita telah melihat bahwa upaya transformasi sosial bangsa ini akan berhasil hanya apabila dibarengi transformasi setiap individu warga negara Indonesia, khususnya individu para penyelenggara Negara. Dalam kaitan ini berlaku slogan “Jika Anda mau mengubah dunia, mulailah dengan dirimu sendiri”. Masalahnya, setiap orang berpikir mau mengubah orang lain. Hampir tak seorang pun berpikir bagaimana mengubah dirinya sendiri. Anthony de Mello menggambarkan situasi ini secara gamblang dalam cerita berikut:


Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ‘Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!’. ‘Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. ‘Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku’!


Memang mengubah diri bukanlah hal yang mudah. Tetapi, bagi kita orang kristiani, kuat kuasa Kristus akan mengubah kita, asalkan kita mau memberi diri diubah oleh-Nya. Camkanlah cerita lain dari Anthony de Mello ini:

Wawancara antara seseorang yang baru saja bertobat dan mengikuti Kristus dengan seorang temannya yang tidak beriman: ‘Jadi, kau sudah bertobat menjadai pengikut Kristus?’ ‘Ya’. ‘Kalau begitu tentu kau tahu banyak tentang Dia. Misalnya, di negara mana Ia dilahirkan?’. ‘Aku tidak tahu’. ‘Berapa usia-Nya waktu Ia meninggal?’. ‘Aku tidak tahu’. ‘Berapa kali Ia berkhotbah?’. ‘Aku tida tahu’. ‘Lho, bagi orang yang menyatakan telah bertobat menjadi pengikut Kristus, kau mengetahui sedikit sekali’. ‘Kau memang benar. Aku malu karena begitu sedikit pengetahuanku tentang Dia. Tetapi, sekurang-kurangnya aku tahu hal ini: Tiga tahun yang lalu aku seorang pemabuk. Hutangku banyak. Keluargaku berantakan. Anak-isteriku selalu takut, setiap kali aku pulang. Tetapi sekarang aku sudah tidak minum lagi. Hutang-hutangku sudah lunas. Keluarga kami bahagia. Anak-anak senang menantiku pulang ke rumah setiap sore. Sebanyak inilah yang saya ketahui tentang Kristus’.


Kisah ini merupakan contoh suatu pertobatan sejati. Dan bukankah Masa Prapaskah adalah masa pertobatan? Bersediakah kita menggunakan masa pertobatan penuh rahmat ini secara sungguh-sungguh? Dalam Gereja Katolik kita beruntung mendapatkan sarana rahmat penyembuhan. Itulah Sakramen Tobat. Tetapi berapa dari kita umat Katolik yang masih bersedia memanfaatkannya?


Menuju Sinode KAMS 2012

Di atas kita telah membahas topik APP Nasional 2011 dalam konteks situasi umum masyarakat bangsa kita. Dan kita sampai pada kesimpulan bahwa upaya transformasi sosial-struktural (eksternal) saja, tanpa disertai transformasi pribadi (internal) setiap warga negara, termasuk dan khususnya para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) akan sia-sia. Reformasi yang dijalankan haruslah komprehensif, meliputi baik sisi eksternal maupun internal.


Ini juga berlaku untuk komunitas Gereja. Diktum “Ecclesia semper reformanda” (“Gereja harus selalu diperbaharui”) menyangkut kedua aspek itu, eksternal-internal. Gereja lokal KAMS akan genap berusia 75 tahun pada 13 April 2012 y.a.d. Kita ingin menggunakan moment bersejarah penuh rahmat itu untuk mengadakan Sinode Keuskupan, sebagai upaya penegasan diri lagi dan merumuskan arah beberapa tahun ke depan Gereja lokal kita dalam semangat ‘aggiornamento’ (pembaharuan) Konsili Vatikan II. Melalui Surat Puasa ini saya, selaku Uskup Agung KAMS, menyerukan kepada segenap warga Katolik KAMS: “Mari sukseskan SINODE KAMS 2012; Sinodal-Kolegial: Berjalan Bersama Lewat Perwakilan”! Tuhan memberkati kita!

Makassar, medio Februari 2011

+ John Liku-Ada’

Surat Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada Umat Katolik di Indonesia: MARILAH TERLIBAT DALAM MENATA HIDUP BANGSA

Kepada Saudara-saudari umat Katolik di seluruh wilayah tanah air yang terkasih dalam Tuhan kita Yesus Kristus,

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), 1-5 November 2010 di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor baru saja berakhir. Kami para Uskup juga baru saja mengakhiri sidang tahunan yang berlangsung 8-12 November 2010. Dengan para peserta SAGKI yang merupakan wakil-wakil umat dari keuskupan-keuskupan, kami sudah mengalami kebersamaan dan persekutuan dalam iman pada SAGKI yang lalu. Kini kami ingin menyapa saudara-saudari umat Katolik di Indonesia dan membagi sukacita serta berkat Tuhan secara lebih melimpah kepada Anda yang tidak ikut SAGKI.


SAGKI dan sidang tahunan KWI terlaksana di tengah keprihatinan seluruh anak bangsa karena berbagai bencana yang melanda beberapa wilayah negeri ini, seperti banjir bandang di Wasior (Papua Barat), gempa bumi dan tsunami di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), serta meletusnya Gunung Merapi (di perbatasan Jateng-DIY) yang menelan banyak korban jiwa, harta, dan hancurnya sebagian sarana-prasarana serta menyuramkan hari depan mereka. Situasi itu semakin mendorong kami untuk menyapa dan meneguhkan Anda semua yang telah bersama dengan warga masyarakat lainnya mewujudkan kepeduliaan untuk membantu saudara-saudari yang sedang terkena musibah.


Kami sungguh bergembira dan bersyukur atas berbagai inisiatif dan karya nyata yang telah Anda lakukan di tengah dan bersama masyarakat sebagai usaha untuk menemukan dan menampilkan wajah Yesus dalam hidup sehari-hari. Kenyataan keterlibatan Anda dalam masyarakat dapat kami dengar melalui penuturan para utusan keuskupan yang ambil bagian dalam SAGKI yang lalu. Karya nyata itu kami dengar dalam SAGKI melalui kisah sejumlah saudara seiman bagaimana mereka menghayati imannya dalam perjumpaan dengan berbagai kebudayaan dan gaya hidup, keragaman agama, dan kemiskinan. Juga kisah beberapa orang yang berbeda agama mengenai pengalaman mereka dalam perjumpaan dengan orang-orang Katolik.

Saudara-saudari yang terkasih,

Guna semakin nyata menghadirkan wajah Yesus dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kami ingin berbicara dengan Anda dari hati-ke-hati mengenai beberapa hal yang kami anggap penting bagi kita sebagai umat Katolik warga negara Indonesia. Hal-hal yang kami maksud adalah pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, upaya mengembangkan toleransi yang didasari kasih dan penegakan hukum yang berkeadilan. Kegembiraan, peneguhan, dan pencerahan yang ditimba dalam SAGKI memberi inspirasi untuk menjalankan panggilan untuk lebih terlibat dalam menata kehidupan bangsa terlebih menjawab empat persoalan mendesak di atas.


Pemberantasan korupsi: Godaan untuk melakukan korupsi hadir sebagai sebuah hal yang nampaknya baik. Dalam membujuk untuk berkorupsi, roh jahat menunjukkan diri sebagai malaikat. Maka untuk mencermati masalah korupsi, kita pertama-tama harus mengamati bagaimana kita bersama-sama melatih diri untuk mampu membedakan gerak-gerik roh dalam diri maupun dalam masyarakat. Pembujuk jahat yang menggoda untuk melakukan korupsi, dengan wajahnya yang manis membujuk kita untuk melakukan hal-hal yang nampaknya baik dan besar, penting dan berguna bagi kemanusiaan. Dari buahnya kita kenali pohonnya. Dan buah itu ternyata buah busuk dan membuat koruptor itu menjadi berbau. Buah itu ternyata merusak nama baiknya, keluarganya dan pada gilirannya merusak masyarakat.

Korupsi kini telah meresap ke seluruh sendi kehidupan bangsa. Praktek hidup yang koruptif amat luas dan dalam, sehingga dirasakan seakan-akan hal itu normal dan baik. Kita melihat, pihak-pihak yang semestinya mengusahakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semakin cerdik mencari jalan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri, keluarga, kelompok atau golongannya sendiri dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya. Sebagai orang beriman dan warga negara kita harus mencari upaya untuk menghapus dan menghentikannya. Sebagai orang beriman kita harus bersikap jujur, bertindak benar, serta bertanggungjawab atas kepercayaan orang lain.


Pengentasan kemiskinan: Kemiskinan tidak berdiri sendiri. Kemiskinan adalah sebuah wajah yang menunjukkan tiadanya cintakasih dan struktur sosial yang adil. Di dalam masyarakat kita ada segolongan orang yang menguras kekayaan negeri ini secara berkelebihan sehingga tidak ingat lagi pada saudara-saudarinya yang juga memerlukan rejekinya dari tanah air yang sama. Kenyataannya sekitar 40 persen bangsa kita belum hidup sejahtera. Setelah 65 tahun merdeka kenyataan ini mesti menggugah kita. Rakyat mengharapkan kebijakan politik dan ekonomis yang secara kasatmata berpihak pada orang kecil. Rakyat terpaksa menjadi penonton proyek-proyek besar atau bahkan mengalami penggusuran karena adanya proyek-proyek tersebut. Orang kecil tidak mengharapkan peminggiran atau penggusuran, melainkan pemberdayaan agar semakin berdaya.


Pengembangan toleransi yang didasari kasih: Jarak antara mereka yang kaya dan miskin semakin lebar. Akibatnya, mereka yang miskin menjadi putus asa. Mungkin mereka sudah mengusahakan agar dapat hidup secara pantas sebagai manusia, tetapi usaha itu tidak membawa hasil. Ketika hal semacam itu menjadi pengalaman semakin banyak orang, maka agama menjadi satu-satunya kekuatan yang ada di dalam diri mereka. Agama, di satu pihak bisa dipergunakan sebagai pendorong untuk menghancurkan struktur yang tidak adil, tetapi di lain pihak bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan struktur yang tidak adil itu guna mencari keuntungan diri. Akhir-akhir ini kekerasan dan tindakan-tindakan anarkhis dengan mengatasnamakan agama kembali menguat. Sikap dan tindakan seperti itu memunculkan intoleransi yang semakin meningkat, yang merusak hak asasi warga negara untuk bebas menjalankan agama dan kepercayaannya yang telah dijamin oleh Pancasila dan UUD NRI 1945.


Penegakan hukum yang berkeadilan: hingga kini kita sering mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan sama dan setara di hadapan hukum. Hukum perlu ditegakkan agar kebenaran dan keadilan menjadi nyata, hukum harus dijadikan panglima sesuai amanat UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun kita kerap menyaksikan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan baru sampai pada ungkapan niat baik tetapi belum sampai kepada pelaksanaan yang konsisten. Proses penegakan hukum masih memberi kesan kuat tebang pilih dan membeda-bedakan. Penerapan hukum sepertinya ”tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Maksudnya, terhadap rakyat kecil atau warga biasa hukum bisa diterapkan secara efektif, tetapi hukum menjadi tumpul dan tidak berdaya terhadap yang besar, berkedudukan dan memiliki kekuasaan, serta punya banyak uang.


Empat hal tersebut kami anggap penting dan menentukan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka melalui surat ini, kami ingin menegaskan sikap dan menyampaikan ajakan kepada Anda semua untuk cermat melihat akar-akarnya, cara berkembangnya, tipu dayanya, dan akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya. Sungguh merupakan celaka bagi bangsa ini kalau hal-hal itu tidak segera diatasi, sebab dengan itu kita bisa menyebabkan negara ini terus mengalami pembusukan dari dalam dan menyebabkan rapuhnya bangunan kesatuan dan persatuan kita serta sulitnya mewujudkan hidup yang adil dan makmur.

Saudara-saudari yang terkasih,

Marilah kita cermati diri kita masing-masing, keluarga, komunitas, dan Gereja kita agar tidak terbujuk oleh godaan untuk berkorupsi. Jangan sampai perilaku kita melukai rasa religius umat beriman, menyakiti hati kaum marjinal dan terabaikan. Kita tingkatkan bersama kualitas dialog dan karya-karya nyata bersama umat yang berbeda agama. Kita usahakan pengentasan kemiskinan melalui perbaikan struktur sosial yang tidak adil dan dengan mengembangkan semangat saling membantu. Marilah kita mengawal proses penegakan hukum yang berkeadilan dengan menjadi warga yang hormat dan taat pada aturan serta hukum yang berlaku.


Secara langsung, mungkin tak akan lekas nampak hasilnya. Tetapi bila kita mampu membedakan gerak-gerak roh dalam diri kita, kami percaya bahwa usaha ini akan membawa perubahan. Perubahan yang berasal dari batin dan yang berakar pada iman yang teguh akan memiliki dampak yang dahsyat. Semoga secara batin kita diperkaya oleh Kristus sehingga kita menjadi mampu untuk menolak godaan roh jahat.


Semoga iman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita, menjadi daya kekuatan bagi kita agar kita semakin mampu mendengarkan suara Roh, hidup arif dan berani mengambil keputusan-keputusan yang berdasarkan iman dan moral Katolik demi keselamatan bangsa dan kemuliaan Allah.


Pengalaman kebersamaan sebagai umat Katolik Indonesia selama SAGKI 2010 meneguhkan kita bahwa keberagaman budaya, perbedaan agama merupakan modal sosial yang sangat baik untuk mewujudkan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Modal sosial itu akan semakin kuat apabila ada kesediaan berdialog dan bekerjasama, saling melengkapi dan saling memperkaya. Marilah kita membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, berawal dari diri kita sendiri, keluarga, komunitas, dan paguyuban-paguyuban yang bertumbuh subur di tengah-tengah umat.


Tuhan memberkati kita semua.


KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA,

Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM.Cap.
K e t u a

Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal

Bakti Sosial Panitia Natal Nasional 2010



Perayaan Natal tahun 2010 telah berlalu. Namun bagi umat Paroki Makale menjadi “kenangan yang amat spesial” karena dua hal. Pertama, Perayaan Ekaristi Malam Natal dan Hari Raya Natal dipimpin langsung oleh Bapa Uskup Agung KAMS. Kedua, Ketua Umum Panitia Nasional 2010 Ibu Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan RI ) bersama Ketua Pelaksana Natal Nasional 2010, Bapak Drs. Goris Mere beserta rombongan, hadir dan merayakan malam Natal bersama umat Paroki Makale. Liturgi Perayaan Natal dikemas dalam budaya Toraja dan dimeriahkan oleh Koor Cantemus dengan musik tradisional “kulintang” Grup SMP Pelita Bangsa. Setelah Perayaan Ekaristi malam Natal dilanjutkan dengan ramah-tamah, makan bersama yang dihadiri oleh Bapak Bupati Tana Toraja, Theofilus Allo Rerung, SE dan tokoh-tokoh Agama dan tokoh masyarakat setempat.

Perayaan Agung Malam Natal dan Hari Raya Natal
Rintik hujan yang menyegarkan dan menyejukkan alam semesta pada sore hari seakan-akan menjadi pertanda bahwa perayaan kelahiran sang Juru Selamat adalah rahmat bagi semua mahluk hidup. Gerimis hujan menjadi undangan khusus bagi umat untuk cepat-cepat mempersiapkan diri dan segala sesuatunya untuk hadir bertemu dengan Sang Mesias. Kehadiran sekitar 3000 umat menjadikan suasana malam natal di kota Makale makin semarak, agung dan meriah. Lagu “Fajar telah Menyingsing” menghantar petugas liturgi dan umat masuk dalam keheningan malam natal. Alunan musik kulintang, gitar, yang mengiringi koor Cantemus makin meciptakan suasana malam yang syahdu.

Tata perayaan Malam Natal yang disusun oleh bidang Liturgi Depas Paroki bersama Panitia Natal dirancang dalam nuansa budaya Toraja. Pesan dan nilai-nilai injili diungkapkan melalui simbol-simbol, tata gerak dan busana (tarian), nada dan lagu, serta hiasan-hiasan ruang yang dekoratif kental dengan kekayaan alam dan nuansa Toraja. Oleh Ketua umum Panitia Nasional 2010 Ibu Mari Elka Pangestu, dalam kata sambutannya, memberikan apresiasi dan kekaguman akan liturgi perayaan malam natal yang inkulturatif. Beliau menyebutkan beberapa yang mengesan dan perlu terus menerus dikembangkan, yakni:
1. Sarana musik tradisional, gendang, biola, kulintang, musik bambu;
2. Busana tradisional para petugas liturgi: pakaian kebesaran tiga Raja; pakaian para penari tarian toraja (Pa’gellu’ dan to ma’gandang); pakaian pengiring perarakan bayi Yesus, para pengarak persembahan ;
3. Pakaian para malaikat cilik;
4. Lagu-lagu yang ada beberapa dinyanyikan dalam bahasa Toraja dengan iringan musik tradisional pula.

Sebagaimana tujuan dan usaha gereja dalam mengakarkan dan mengungkapkan iman melalui perayaan-perayaan liturgi yang inkulturatif, penegasan ARDAS KAMS poin kelima menganjurkan agar upacara atau Perayaan Ekaristi yang makin membudaya dalam akar budaya setempat; Gereja Katolik di kevikepan Toraja dari tahun ke tahun teristimewa pada setiap hari raya Gereja (Natal, Trihari Paskah, Pentakosta) dan pada perayaan istimewa (seperti pemberkatan Gereja, pentahbisan imam baru, syukur panen, pemberkatan rumah tongkonan, dsb) dan secara khusus pula pada upacara pemakaman, liturgi Ekaristi makin hidup dan meriah.

Ibu Mari Pangestu, sebagai ketua umum panitia Natal Nasional 2010, mengajak umat Katolik dan Kristen Protestan di seluruh Indonesia, agar merekat tali persatuan dan persaudaraan sebagai satu bangsa dengan nilai-nilai asli budaya bangsa Indonesia. Panitia Natal Nasional 2010 sebagaimana yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya, Natal 2009, membagi diri dan waktu untuk berkunjung ke daerah-daerah agar di sana dalam kasih persaudaraan sebagai satu umat beriman akan Kristus Yesus, merayakan Natal dengan umat setempat. “Hadir”, “ada” bersama itulah keselamatan yang kita rayakan dalam Natal. Allah ada ditengah-tengah kita. IA, Yesus Kristus bergelar “Immanuel” yang berarti Allah beserta kita. IA ada, IA selalu hadir dalam setiap peristiwa hidup kita, teritimewa disaat-saat kita manusia mengalami kesepian, kemalangan. IA tidak pernah meninggalkan kita. IA adalah Allah yang setia. Maka sebagai murid-muridNya marilah kita juga hadir, ada untuk yang lain. Kehadiran diri di antara sesama itu akan sangat dirasakan keberadaannya di saat sesama mengalami ketidakberdayaan. Solidaritas Allah yang ditunjukkan Allah dalam peristiwa Natal, Allah menjadi manusia, mewajibkan kita yang merayakan Natal untuk terus-menerus menyatakan solidaritas dengan sesama anak bangsa tanpa melihat perbedaan suku, agama, status atau jabatan. Untuk itu dalam doa dan melalui derma, pengumpulan dana, kita berusaha meringankan beban bagi saudara-saudari kita yang tertimpa bencana alam di Wasior-Papua, korban Gunung Merapi-Jateng; tsunami di Mentawai-Sumatera dan di tempat lain yang kurang mendapat perhatian media massa.

Bapa Uskup dalam kotbahnya, mengajak seluruh umat manusia agar memelihara martabat dan hakekatnya sebagai ciptaan yang telah ditebus di dalam Yesus Kristus. Allah dalam Yesus Kristus mengambil rupa sebagai manusia, menegaskan kepada kita semua bahwa Allah sungguh mencintai dan mau mengembalikan martabat kita manusia yang telah rusak karena dosa. Peristiwa inkarnasi adalah peristiwa pemuliaan manusia sebagai ciptaan mulia dari Allah Bapa Pencipta dan Penyelengara hidup. Setiap tindakan, rencana dan usaha yang ditempuh manusia untuk hidup baik mendapat tempat di hati Allah.

Setelah perayaan Ekariti malam Natal, acara dilanjutkan dengan santap malam bersama. Nasi kotak sejumlah 3500 kotak yang telah disiapkan sebelumnya langsung dibagikan pada umat di pelataran Gereja.

Rombongan Panitia Natal Nasional, Bapa Uskup, Vikep Toraja, Bupati Tana Toraja dan tokoh-tokoh agama, umat, masyarakat mendapat jamuan malam di Aula Pastoran. Aula pastoran ditata sedemikian rupa bagaikan “istana”. Di bawah kordinator Ibu Elisabeth Palamba’ dan tuntunan tim dari Jakarta, makanan yang disajikan semuanya ala Toraja. Makanan khas Toraja menjadi menu utama. Oleh Ibu Menteri dan Bapak Goris Mere serta rombongan dan para tamu lainnya, malam itu menjadi malam persaudaraan. Acara Ramah Tamah diawali dengan upacara penyambutan secara resmi kepada Ibu Menteri dan Bapak Goris Mere. Pasutri L.K. Pongmasak, mewakili Depas dan umat Paroki Makale, mengenakan simbol-simbol kebesaran masyarakat Toraja. Kepada Ibu Menteri dikenakan Sarung, Salendang khas tenunan Toraja, dan Sepu’. Sedangkan kepada Bapak Goris Mere, kepadanya dikenakan “Passapu’, Parang, dan Sambu’ berwarna putih. Dalam kata sambutannya, Vikep Toraja, P. Frans Arring mengungkapkan kegembiraan atas kedatangan tamu terhormat. Adalah suatu kehormatan besar bagi kami, bahwa Ketua umum dan Ketua panitia pelaksana Natal Nasional 2010 memilih Keuskupan Agung Makassar khususnya kevikepan Toraja untuk hadir merayakan Natal, di Makale. Kehadiran mereka memberi peneguhan bahwa kita satu dalam iman, kasih dan harapan.

Dalam sambutan singkatnya, Bapak Goris Mere menyampaikan ucapan selamat Natal dan selamat menyongsong Tahun Baru 2011. Mari kita semua tak jemu-jemunya berbuat baik, menghindari segala yang dapat merusak diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Pada kesempatan yang istimewa itu pula, di hadapan seluruh umat, Penanggung jawab seluruh kegiatan perayaan Natal yang juga sebagai Pastor Paroki Makale menyampaikan dua hal pokok:
1. Proficiat dan penghargaan kepada seluruh umat yang dari saat ke saat semakin berperan aktif sesuai dengan keterampilan dan keahlian masing-masing dalam karya pelayanan dan pengembangan Gereja. Paroki Makale terdiri dari 3 wilayah dengan 28 stasi. Sebuah Gereja induk yang terbagi dalam 6 rukun. Data terakhir Desember 2010, jumlah keseluruhan kepala keluarga Paroki Makale, 2043 KK. Pada setiap perayaan hari Natal dan Paska (pekan suci) dipusatkan pada 4 sampai 5 tempat.
2. Dalam rangka menyongsong pesta intan Paroki Makale, maka diprogramkan pembenahan kompleks gereja induk ini. a. pembangunan Aula serba guna dan kantor paroki dengan biaya Rp 750 juta; b. pembuatan pagar yang seusai dengan tempat dan kedudukan Gereja yang berada jantung kota Makale, dengan biaya Rp 75 juta; c. Perawatan/pengecatan Gedung Gereja dengan biaya Rp 50 juta. d. Renovasi Pastoran dengan biaya Rp 325 juta. Total biaya Rp 1,2 M.

Akhir kata terimakasih atas kehadiran Bapa Uskup Agung, yang telah memimpin langsung perayaan Malam Natal ini merupakan kebanggaan kami umat paroki Makale. Terimakasih kepada Bapa Vikep Toraja dan P. Sem Porak yang turut ambil bagian dalam perayaan malam ini. Secara khusus kepada tamu istimewa dari Jakarta, Ibu Elka Mari Pangestu, Bapak Goris Mere beserta seluruh Rombongan panitia Natal Nasional 2010, terimakasih atas kunjungan persahabatan dan atas pilihannya memilih Gereja induk paroki Makale untuk merayakan Natal tahun ini.

Misa Hari Raya Natal 25 Desember 2010 dipimpin langsung oleh Bapa Uskup Agung KAMS, dimeriahkan oleh koor Cantemus. Suasana Ekaristi Natal yang inkulturatif kembali ditampilkan oleh seksi liturgi Depas. Perarakan masuk dengan diiringi dengan tarian yang dipadukan dengan lagu “Yesus, Selamat Datang” menciptakan suasana dan kegembiraan di hati umat. Umat makin gembira saat menyanyikan lagu “Para Malaikat” (Gloria) dengan iringan musik tradisional dan tari-tarian, Memuliakan Tuhan Yesus yang lahir/hadir di tengah-tengah dunia.

Dalam kotbahnya, Bapa Uskup mengisahkan pengalaman-pengalaman di masa kecilnya. Cara mendidik orang tua banyak yang membuat anak tidak berani tampil dan kreatif. Di beberapa tempat dan instasi, pun dalam hidup menggereja, diakui bahwa orang Toraja itu pintar, cerdas, rajin, setia, jujur, bertanggung jawab tetapi bila diminta kesediaannya untuk memimpin, kadang menolak, merasa tidak mampu dan berkata: “Ah, kasihlah orang lain, masih banyak yang lebih tua atau pantas”. Yesus datang sebagai terang. Terang yang menerangi sisi-sisi gelap kehidupan manusia. Salah satu sisi gelap kehidupan orang Toraja adalah sistem, cara mendidik dari leluhur, atau orang tua untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri anak-cucunya. Dengan cara mengancam, menakut-nakuti: awas ada ular di sana, ada “bombo” di situ. Semuanya itu memupuk keragu-raguan, ketidakberanian, ketidakpercayadirian dalam diri anak. Semoga kita menemukan titik-titik gelap dalam tradisi kita, dan mari kita terangi dengan Injil keselamatan.*** Penulis: P. Natan Runtung Pr.

Merajut Kebersamaan dan Kepedulian Menuai Kemesraan


Perayaan Natal Bersama dan Pengukuhan IKA PMKRI Makassar dilaksanakan pada 28 Desember 2010 bertempat di sebuah restoran di kota Makassar.


Diawali dengan Misa yang dipimpin oleh Bapa Uskup Agung Makassar Mgr. John Liku-Ada’ Pr, yang didampingi oleh Pastor John Turing Pr, Pastor Willy Welle Pr dan Pastor Petrus Bine Pr. Perarakan Imam menuju altar diiringi dengan tarian dari sanggar seni Anging Mamiri. Misa Perayaan Natal semakin hikmat dengan iringan lagu-lagu dari Paduan Suara Gema Yuventa Paroki Tello.

Dilanjutkan dengan pengukuhan Pengurus IKA PMKRI Makassar 2010-2013. Rencana semula Pengurus FMKI juga akan dikukuhkan, sehubungan kepengurusan belum siap, maka kepengurusan FMKI tidak jadi dikukuhkan.


Uskup memberikan kata sambutan sesaat sebelum mengukuhkan Pengurus IKA PMKRI: dalam menghadapi era reformasi saat ini, yang selanjutnya ditandai dengan Otonomi Daerah yang membawa perubahan besar dan mendasar. Dibandingkan dengan sistem yang berlaku di era orde baru yang otoriter dan sangat sentralistis, era reformasi sesuangguhnya membawa tantangan besar kepada warganegara/kelompok-kelompok sosial yang merupakan komponen bangsa ini untuk berperan aktif dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Tantangan ini lebih mengena dan urgen kepada kelompok-kelompok sosial minoritas, karena di satu pihak UUD menjamin hak dan kewajiban warganegara untuk berperan aktif dalam hidup bernegara, tetapi di lain pihak, mereka sendiri tidak menggunakan hak itu, mereka akan terus tergeser ke pinggir dalam arus perjalanan bangsa ke depan.


Melihat kenyataan ini, ormas Katolik yang ada saat ini semua mati suri. Maka dengan lahir dan hadirnya Ikatan Alumni PMKRI Makassar, Bapa Uskup menyatakan bahwa beliaulah orang yang paling berbahagia mendengarnya. Bapa Uskup mengharapkan agar IKA PMKRI dapat menjadi satu organisasi yang mendampingi dalam pembinaan kepada kader-kader mahasiswa Katolik yang bergabung di PMKRI Makassar.


Uskup juga menyambut baik diadakannya Natal Bersama Ormas Katolik se-Makassar yang pertama kalinya, diharapkan kegiatan semacam ini terus berkelanjutan.

Seluruh kolekte dalam perayaan Natal ini diserahkan ke Seminari Menengah Petrus Claver. Setelah Misa Perayaan Natal selesai dilanjutkan dengan makan malam dan ramah-tamah.


Mengawali ramah-tamah, Ben J. Tungadi selaku Ketua Panitia menyampaikan bahwa suatu kerinduan untuk mempersatukan seluruh ormas Katolik se-Makassar, sehingga Perayaan Natal Bersama Ormas Katolik se-Makassar pertama kalinya diadakan. Momen Kelahiran Yesus Kristus di dunia merupakan saat yang tepat untuk berkumpul dan bersatunya Ormas Katolik, diharapkan ini menjadi langkah awal yang baik dan harus berkelanjutan terus di kemudian hari. Tantangan terbesar yang ditemui panitia pelaksana adalah bagaimana menyatukan panitia yang terdiri dari semua unsur ormas Katolik, selain itu masa kerja panitia yang sangat singkat karena panitia terbentuk pada 1 Desember 2010. Namun kendala-kendala yang muncul dapat diatasi dengan kerja keras semua pihak dan bantuan alumni PMKRI.

Setelah itu dilanjutkan dengan sambutan Mark Halik selaku Ketua IKA PMKRI Cabang Makassar periode 2010-2013 yang baru saja dikukuhkan.


Dalam sambutannya, Mark Halik menjelaskan 2 hal, yaitu IKA PMKRI Makassar dan Natal Bersama Ormas Katolik se-Makassar.

I. IKA PMKRI Makassar, disampaikan kronologis lahirnya IKA PMKRI Makassar, adalah wadah yang lahir spontan pada reuni PMKRI Makassar 17 Oktober 2010, di Margasiswa PMKRI Jl Dr Sutomo Makassar. Pada saat itu hadir tidak kurang dari 150 alumni PMKRI Makassar dari berbagai penjuru tanah air, atas undangan teman-teman penginisiatif reuni (baik yang tinggal di Makassar maupun di Jakarta). Undangan untuk menghadiri kegiatan reuni disampaikan secara lisan maupun melalui mailing-list dan facebook.

Keinginan untuk bertemu selain oleh kerinduan untuk berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat lama, juga oleh keprihatinan yang mendalam tentang “keberlanjutan” eksistensi PMKRI, khususnya PMKRI cabang Makassar. Melihat perkembangan PMKRI dari masa ke masa, sampai dengan tahun 90-an adalah laksana pelangi, penuh warna dan dinamika, dibandingkan dengan PMKRI akhir-akhir ini cenderung satu warna dan monoton, dan bahkan ada gurauan “tidak lama lagi PMKRI Makassar akan punah”. Fakta yang mendorong munculnya gurauan kepunahan adalah dari tahun ke tahun semakin sedikit mahasiswa Katolik yang tertarik mendaftar menjadi anggota PMKRI. Setiap tahun pendaftar hanya 20-30 orang, dengan rasio anggota aktif tiap angkatan 10:1, yang berarti hanya 2-3 orang. Bila berlangsung terus, maka kepunahan tidak dapat dihindari. Saat ini Anggota PMKRI identik dengan DPC saja.


Berdasarkan hal tersebut diatas, maka tujuan IKA PMKRI Makassar adalah (1) untuk menghimpun Alumni PMKRI Makassar yang tersebar di seluruh dunia, (2) untuk menopang dan mengawal semangat dan arah pembinaan PMKRI Makassar. Tujuan tersebut berlandaskan: KASIH, INTELEKTUALITAS dan PERSAUDARAAN SEJATI.


Mark Halik juga menyampaikan Visi dan Misi IKA PMKRI, walaupun Visi-Misi yang resmi belum dirumuskan karena dibutuhkan suatu rapat yang khusus untuk tujuan tersebut yang dapat dirangkum sebagai berikut :


Visi: Menjadi organisasi yang solid, peduli, inklusif dan modern.

Misi: (1) mengupayakan terwujudnya jejaring alumni yang luas, terencana dan berkesinambungan. (2) Mendampingi PMKRI Makassar agar tetap menjadi kader yang membanggakan. (3) Menjadi Mitra Hirarki Gereja dalam mediasi dan sosialisasi berbagai kebijakan dan isu kemasyarakatan. (4) Mengoptimalkan kemampuan para anggota sehingga menjadi pengabdi masyarakat yang profesional sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. (5) Melakukan fungsi kenabian sebagai wujud kepedulian warga negara dan warga Gereja Katolik yang bertanggung jawab.

Disadari bahwa organisasi Alumni tidak/belum lazim di PMKRI, karena sesuai AD/ART PMKRI tidak dikenal kata “Alumni”, yang ada adalah “Anggota Penyatu”, Namun menyadari berbagai dinamika kemasyarakatan para deklarator sepakat untuk mendirikan Ikatan Alumni PMKRI Makassar disingkat IKA PMKRI Makassar, tanpa maksud sedikit pun untuk menjadi saingan Ormas Katolik manapun.


II. Natal Bersama Ormas Katolik Pada awalnya semata-mata didasarkan oleh pertimbangan praktis yakni “demi efisiensi”, namun di balik pertimbangan praktis ini, IKA PMKRI mengajak para Pengurus Ormas Katolik untuk memaknai peristiwa ini sebagai awal bangkitnya kegairahan Ormas-Ormas Katolik.

Acara ramah-tamah dimeriahkan dengan kesediaan Bapa Uskup menyumbang sebuah lagu. Suara emas Bapak Uskup menghasilkan sumbangan sebesar Rp 4.600.000,- yang disumbangkan untuk pembangunan Gereja Paroki Bunda Maria Mandai. Dalam acara ini Pengurus IKA PMKRI Makassar menyerahkan bingkisan Ulang Tahun kepada Bapa Uskup yang berulangtahun pada 22 Desember. Pengurus ISKA Sulsel juga menyerahkan bingkisan kepada Bapa Uskup. ***